Saturday, 4 April 2020

16 Juta Orang Akan Mati Jika Herd Immunity Alamiah Diterapkan


DEMOKRASI.CO.ID - Peperangan antara virus dengan manusia adalah soal adu cepat siapa yang lebih dulu bisa beradaptasi: virus dengan mutasi genetiknya atau manusia dengan kekebalan tubuhnya. Vaksin diciptakan agar manusia memenangkan pertempuran tersebut.

Sebelum abad ke-18 gambaran dunia terlalu kelam akibat serangan berbagai wabah penyakit. Kala itu penawar belum ditemukan, dan manusia sepenuhnya bergantung pada keajaiban sistem imun untuk melindungi diri dari penyakit. Infeksi virus ringan sangat mungkin membikin kematian bagi manusia.

Ketika Inggris dilanda epidemi cacar pada 1790-an, sebanyak 30 persen orang meninggal akibat penyakit menular ini, terutama anak-anak. Mereka yang sembuh harus rela kehilangan penglihatan, atau memiliki bekas luka di seluruh badan. Kondisi Inggris saat itu mungkin lebih buruk dari hari ini, ketika dunia menghadapi COVID-19.

Ilmu kesehatan masih sangat terbatas dan belum banyak obat ditemukan untuk kasus penyakit akibat virus. Penemuan vaksin oleh seorang dokter Inggris bernama Edward Jenner pun tak mampu meredakan wabah karena uji cobanya dianggap tidak etis.

Ketika wabah cacar tengah merebak, Jenner melakukan percobaan kontroversial yang justru membuka gerbang ilmu pengobatan modern. Ia mengamati anomali pada pemerah susu sapi, dampak cacar pada mereka paling banter hanya serupa efek kemerahan di badan.

Suatu hari Jenner mengambil sampel kemerahan di tangan seorang pemerah susu dan menempelkannya di luka James Phipps (8 tahun). Phipps terserang cacar, tapi tidak berlangsung lama. Setelah ia sembuh Jenner kembali melakukan percobaan serupa tapi Phipps menjadi kebal.

Setelah diamati, ternyata para pemerah susu terbebas cacar karena terpapar virus tersebut dari sapi perahan. Dalam intensitas rendah (lewat aktivitas memerah susu) infeksi virus cacar jadi tidak menimbulkan risiko kesehatan tinggi. Asal usul istilah vaksin kemudian diambil dari bahasa Latin “vacca” yang berarti sapi.

Tubuh manusia sejatinya memiliki mekanisme unik untuk menangkal berbagai patogen berbahaya seperti virus, bakteri, jamur, dan parasit. Respons imun punya fase bawaan dan adaptif untuk menangkal patogen. Seperti dilansir dari laman Nature, patogen menginvasi tubuh lewat luka terbuka atau mukosa.

Ketika sudah masuk ke dalam tubuh, patogen akan memperbanyak diri dan memiliki misi untuk merusak sel dalam tubuh, alias membikin penyakit. Namun mereka akan dihadang oleh makrofag (sel pada jaringan di darah putih) sebagai garda depan penjaga tubuh. Makrofag kemudian mengundang bala bantuan bernama neutrofil.

"Tentara" imun lapis kedua ini bertugas mencegah patogen membuat kerusakan lebih lanjut seperti infeksi dan penyakit. Jika peperangan masih sengit, maka sel dendritik yang sedari awal mengawasi jalannya perang akan memanggil pasukan tambahan berupa antigen. Kemudian Sel T dan Sel B maju ke medan perang melawan pantogen, mereka memproduksi senjata berupa antibodi untuk melumpuhkan musuh.

Ketika para "tentara" menang melawan musuh, sel tubuh yang mati akibat perang tumbuh kembali. Sementara sel imun yang sudah selesai bertugas akan bunuh diri. Tapi mereka meninggalkan sel memori yang merekam ciri-ciri musuh, sel memori ini akan mengenali dan membunuh musuh yang sama di masa mendatang dan membentuk kekebalan.

Memahami Herd Immunity

Wabah penyakit akibat infeksi virus akan hilang ketika mayoritas populasi kebal, dan individu berisiko terlindungi oleh populasi umum. Dengan begitu virus akan sulit menemukan host atau inang untuk menumpang hidup dan berkembang. Kondisi itu disebut dengan Herd Immunity atau kekebalan kelompok.

Untuk mencapai kekebalan kelompok, mayoritas populasi harus sembuh dari infeksi patogen agar sel memori imun merekam ciri-ciri patogen penyebab penyakit. Caranya bisa ditempuh dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh mendapat paparan penyakit secara alami.

Ketika pandemik flu 1918 atau familiar disebut flu spanyol, dunia pernah dengan terpaksa menjalani langkah alami membentuk herd immunity. Penyakit ini dipicu oleh infeksi virus influenza, terjadi dari Maret 1918 hingga Juni 1920. Sekitar 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia terinfeksi virus ini. CDC memperkirakan jumlah kematian mencapai 50 juta di seluruh dunia.

“Tak ada vaksin, upaya pengendalian terbatas pada isolasi, karantina, menjaga kebersihan, memakai disinfektan, dan pembatasan. Itupun tidak merata,” tulis CDC.

Kekebalan kelompok dari infeksi alami berisiko menimbulkan sakit parah bahkan kematian. American Heart Association bahkan mengatakan pemulihan infeksinya memakan waktu lama hingga hitungan bulan bahkan tahunan. Bayangkan berapa banyak negara harus menanggung kerugian dengan menempuh cara ini.

“Penyebaran infeksi ke kelompok berisiko tinggi tak bisa dibatasi. Beberapa orang yang terinfeksi akan mengembangkan penyakit sangat parah, dan sebagian akan mati,” ungkap Paul Hunter, seorang profesor dokter di Inggris.

Sebaliknya vaksin meminimalisir risiko tersebut karena patogen telah dilemahkan, diuji coba, dan terjamin aman. Dengan vaksinasi, penyebaran infeksi kepada kelompok berisiko bisa ditekan dengan memilih kelompok kuat untuk dijadikan populasi kebal. Namun perlakuan ini nampaknya belum bisa diterapkan untuk kasus COVID-19 karena vaksinnya belum ditemukan.

Kekebalan dari Infeksi Alami Bukan Pilihan

Populasi untuk kekebalan kelompok pada tiap penyakit berbeda persentasenya. Sebagai gambaran salah satu penyakit menular, satu orang dengan campak bisa menginfeksi 20 orang lainnya. Jika ingin mencapai kekebalan kelompok maka cakupan target vaksinnya harus mencapai 95 persen.

Kemudian gondongan. Meskipun relatif jinak, setiap orang dengan infeksi gondongan bisa menularkan virus kepada 10-12 orang lain. Kekebalan kelompok bisa dibentuk asal 92 persen populasi kebal. Sementara flu rata-rata hanya menginfeksi 1,3 orang, sehingga kekebalan kelompoknya cukup hanya 25 persen saja.

Lalu bagaimana dengan COVID-19?

Infeksi SARS-CoV-2 pada satu orang diperkirakan dapat menular kepada 2-3 orang lain. Rata-rata algoritma kekebalan kelompoknya harus mencapai 50-67 persen populasi. Dengan jumlah penduduk 271 juta jiwa (proyeksi 2020), Indonesia perlu membuat 182 juta rakyatnya terinfeksi dan membentuk herd immunity.

Dari jumlah tersebut, sekitar 10 persen termasuk dalam infeksi yang harus mendapat penanganan khusus. Artinya 18,2 juta rakyat harus masuk rumah sakit. Dihitung dari persentase kematian sebesar 8,9 persen, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa.

Jika diasumsikan serupa wabah flu spanyol yang datang dalam tiga gelombang, maka tiap gelombang COVID-19 bisa memakan korban meninggal lebih dari 5 juta orang. Tentu kita tak mau statistik tersebut menjadi kenyataan. Dari sudut pandang epidemiologis, tingkat infeksi COVID-19 harus diturunkan setara flu, sekitar 1,3 orang.

Langkahnya dilakukan dengan menciptakan jarak interaksi dan mengurangi kontak sehingga jumlah orang yang terinfeksi bisa ditekan. Pola interaksi semacam ini harus terus dipertahankan sampai wabah usai atau vaksin ditemukan. Ketika saat itu tiba kita bisa merayakannya dengan kembali bekerja, bertemu keluarga, atau sekadar nongkrong bersama teman. [tirto]

No comments:

Post a Comment

Kenapa warga rohingya diusir dari negaranya

  Warga Rohingya telah mengalami pengusiran dan diskriminasi di Myanmar selama beberapa dekade. Konflik terhadap etnis Rohingya bersumber da...