Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Saturday, 4 April 2020

Bagus Sekali Didu VS Luhut


Oleh: M Rizal Fadillah ~Pemerhati publik~

Kritik mantan Staf Khusus Menteri ESDM Said Didu pada Luhut Panjaitan soal pemindahan ibukota di saat wabah dengan mengaitkan fikiran Luhut soal uang dan uang mendapat reaksi berupa ancaman tuntutan pidana. Sebagai Menteri atau pejabat publik semestinya Luhut tenang dalam menghadapi kritik.

Luhut sebenarnya sudah padat dengan kritik bukan saja oleh Said Didu tapi oleh banyak orang baik tokoh politik, pengamat, maupun netizen. Risiko dari jabatan yang diemban. Apalagi memang Luhut sering menyatakan banyak hal yang di luar kewenangan sebagai Menkomarinves.

Baiknya tantangan atau ancaman Luhut kepada Didu dilayani saja. Ini penting untuk pendidikan politik. Didu tentu punya data data yang perlu diketahui publik dari “serangan” nya kepada Luhut. Biar para tokoh politik dapat mempertanggungjawabkan semua pandangan atau pendapatnya.

Soal kepindahan ibukota memang kontroversial. Investasi tak terhindari dan ini tentu menyangkut uang. Ada benang merah dari pandangan Didu. Rakyatpun belum menyetujui soal kepindahan ibukota ini. Jadi perdebatan tentu menarik. Meskipun dibawa ke ruang hukum tapi publikasi tetap bisa berjalan.

Masyarakat banyak mengeluh soal kiprah Luhut di pemerintahan. Banyak disebut sebagai Menteri Segala Urusan. Kini ada “lawan berimbang” yaitu Said Didu. Ketika Didu nyatakan siap hadapi tuntutan Luhut maka banyak rakyat merasa terepresentasi. Didu pun akan mendapat support dari banyak elemen.

Dalam kaitan kekuasaan, Luhut adalah bagian dari pemilik kekuasaan dengan segala daya dukungnya termasuk taipan. Berhadapan dengan Didu yang tak memiliki jaringan sebagaimana Luhut. Pertarungan seperti Daud lawan Goliath. Uji nyali dan uji keyakinan terhadap perjuangan kebenaran.
Suplemen baru bagi Didu adalah pernyataan Faisal Basri bahwa Luhut lebih berbahaya daripada corona virus. Jika Faisal masuk sebagai intervenient maka pertarungan menjadi lebih seru.

Perlawananan Said Didu tentu sangat bermanfaat dalam mengingatkan penguasa bahwa prioritas perhatian itu perlu. Di saat semua pihak sedang sibuk dan panik menghadapi wabah, ini malah terus saja memikirkan dan menyiapkan pemindahan ibukota. Dananya juga masih mengais ngais. Jangan jangan ke China lagi.

Pak Luhut moga tidak menjadi seperti “orang miskin yang sombong”. Miskin akan rasa nasionalisme dan kerakyatan.

Bandung, 4 April 2020

Menkumham Mengail Di Air Keruh?


Oleh:Dr. Andi Desfiandi, MA

BEBERAPA hari lalu, Menteri Hukum dan HAM menyampaikan wacana untuk membebaskan 30.000 narapidana dengan mempercepat proses asilimilasi dan integrasi yang telah memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang.

Dengan alasan, mencegah penularan Covid-19 dan juga over capacity Lapas di seluruh Indonesia.

Yang paling membingungkan adalah wacana beliau untuk juga membebaskan napi tindak pidana korupsi dan narkotika dengan alasan pencegahan covid-19, over capacity dan juga alasan kemanusiaan untuk koruptor yang berusia diatas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 hukuman juga terpidana narkotika yang telah menjalani 2/3 masa hukuman.

Namun wacana asimilasi dan integrasi napi korupsi dan narkottika tersebut terganjal dengan PP 99/ 2012 yang tidak memungkinkan untuk dibebaskan.

Kemudian beliau kembali mewacanakan untuk mengajukan revisi PP tersebut agar wacana itu bisa dilaksanakan. Pengajuan revisi tersebut sudah beberapa kali dilakukan sejak 2015 dan selalu ditolak. Kali ini akan diajukan kembali dengan alasan-alasan di atas.

Alangkah naifnya apabila alasan menghindari penyebaran covid-19 sebagai pembenaran karena kalau itu alasannya maka solusinya sangat mudah tinggal melarang saja para napi dibesuk oleh siapapun untuk sementara. Besuk bisa digantikan dengan teknologi misalnya, diberikan waktu tertentu agar para napi bisa melalui skype atau teknologi lainnya. Atau pembesuk hanya boleh melihat dari batas kaca berjeruji dengan jarak aman.

Alasan kemanusiaan juga adalah alasan yang mengada-ada. Sudah jelas bahwa tindak pidana korupsi dan narkotika adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan.

Sehingga seharusnya juga diperlakukan dengan luar biasa termasuk juga hukumannya sehingga alasan apapun tidak bisa menjadi pembenaran untuk pembebasan hukuman badan.

Begitu pula dengan alasan over capacity adalah alasan klasik sejak dahulu, kalau memang penjara sudah penuh kenapa tidak ditambah kapasitasnya atau sekalian saja hapus proses hukum dan peradilan untuk kasus-kasus tertentu.

Bisa juga menggunakan gedung-gedung yang sudah terbengkalai untuk direnovasi atau diperbesar kapasitas Nusa Kambangan dll.

Wacana tersebut seolah berupaya 'mengail di air keruh' sementara seluruh perhatian pemerintah dan masyarakat digunakan melawan covid-19.
Wallahualam.

(Penulis adalah Ketua Bidang Ekonomi DPP Pejuang Bravo Lima)

Risiko Serangan Covid-19


Oleh:Rafli Zulfikar

SETELAH melewati tantangan yang berat pada tahun 2019 seperti kohesi sosial akibat pemilihan presiden, menguatnya populisme, eskalasi geopolitik yang terus memanas baik di Timur tengah maupun disemenanjung Korea dan rentetan krisis di emerging market (Argentina, Turki dan Afrika Selatan) yang juga berpotensi menjalar ke Indonesia, hari ini kita mengawali tahun 2020 dengan suasana yang murung.

Badai teryata belum berlalu dan meminjam serial Game of Thrones “winter is coming”. Diawali dengan munculnya pagebluk global Covid-19 di Wuhan dan menyebar keseluruh dunia dalam hitungan bulan. Kita tidak pernah membayangkan Covid-19 menyebar secepat sekarang dengan tingkat kejatuhan korban yang terus bertambah.

Dunia yang tidak pernah sepi tiba-tiba terhenti, sepi dan mandek. Semua mengurung diri, kembali ke rumah. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Covid-19 yang mematikan dan menyebar luas seolah memberikan pesan bahwa kita tidak pernah belajar dari rentetan pandemi global dari black death dan spanish influenza.

Lebih dari daya rusak dengan terus meningkatnya besaran jumlah korban dan tingkat rasio kematian (mortality rate) yang tinggi, paska Covid-19 juga memiliki risiko daya rusak yang jauh lebih tinggi yaitu ekonomi, politik dan tatanan global.

Apabila setiap pandemik memiliki risiko mematikan yang berakibat pada berkurangnya populasi, Covid-19 berpotensi melebihi resiko hanya sebatas berkurangnya populasi tetapi menjadi trigger bagi kerusakan fundamental pada tatanan peradaban. Maka mitigasi perlu dipersiapkan tidak hanya sekarang tetapi juga masa depan.

Risiko Ekonomi

Daya rusak Covid-19 berpotensi menjadi pemicu pelambatan ekonomi atau bahkan krisis ekonomi global. Sebelum Covid-19 menjadi pandemik, ekonomi global mengalami pertumbuhan rendah dalam jangka waktu yang lama (secular stagnation) dan munculnya Covid-19 sebagai pandemik akan membuat harapan untuk keluar dari tekanan ekonomi jauh dari angan.

Covid-19 membuat tekanan ekonomi global semakin berat dan diprediksi hanya tumbuh di 1,6 persen (RaboBank, 2020) atau bahkan negatif. Kinerja ekonomi yang negatif karena Covid-19 menyerang major ekonomi terutama China, Asia, Uni Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini menjadi mesin ekonomi global.

Tekanan ekonomi global semakin berat ketika kesepakatan antara OPEC dengan Rusia tidak menyepakati titik temu yang menyebabkan harga minyak turun dilevel USD 20/barel. Kompleksitas ekonomi karena Covid-19 dan rendahnya harga minyak membuat pasar modal mengalami kontraksi.

Begitu juga dengan Indonesia yang diprediksi tumbuh 1 persen (Economist Intelligence Unit). Tentu kita bisa berdebat dengan angka tapi yang jelas, Covid-19 membuat ekonomi ditahun 2020 akan sangat berat. Apalagi dengan asumsi bahwa Indonesia terus mengalami pandemi Covid-19 sampai dengan ramadhan maka tekanan akan semakin berat karena ramadhan adalah salah satu mesin ekonomi Indonesia.

Situasi domestik dan global yang berat membuat alarm kemungkinan munculnya krisis ekonomi terutama krisis ekonomi Asia. Tentu Indonesia menjadi bagian didalamnya sebagai negara yang harus waspada terhadap krisis Asia.

Asia merupakan benua yang paling banyak terkena Covid-19. Hal ini membuat negara-negara mengambil langkah mitigasi yang semuanya memiliki cost yang besar. Baik lockdown atau social distancing akan membuat ekonomi lesu.

Celakanya, di sisi yang lain Asia dalam laporan McKinsey yang berjudul Signs of stress: Is Asia heading toward a debt crisis? Disebutkan bahwa korporasi-korporasi di Asia terutama India, China, dan Indonesia memiliki beban hutang jatuh tempo yang besar untuk membayar bunga dan cicilan.

Tekanan hutang korporasi yang besar akan membuat potensi gagal bayar yang berakibat pada krisis keuangan. Dalam kondisi seperti ini pemerintah harus tepat dalam “mendayung dua karang” di satu sisi mempercepat penanganan Covid-19 agar tidak semakin meluas dan banyak jatuh korban sedangkan di sisi lain juga harus memberikan stimulus yang tepat agar ekonomi tidak mandek dan korporasi keluar dari tekanan beban hutang. Kesalahan fatal akan membuat kondisi semakin runyam, krisis datang disaat Covid19 sedang “ganas-ganasnya”.

Risiko Politik

Pandemik global Covid-19 tidak hanya berakibat pada ancaman krisis ekonomi tetapi juga pada krisis politik. Kabar kesuksesan China dan Vietnam disatu sisi menjadi kabar baik bahwa Covid19 dapat di kalahkan, tapi kabar dari China dan Vietnam juga menjadi kabar buruk bagi masa depan demokrasi.

Pilihan mitigasi yang tersedia yaitu Lockdown atau Social Distancing memerlukan negara yang kuat (strong state). Kesuksesan China, Vietnam dan Singapura karena salah satunya kecepatan dan kepatuhan sosial akibat keoersif yang memaksa masyarakat untuk patuh berjalan efektif.

Kekuasaan yang tersentralisasi berjalan sangat efektif untuk memaksa masyarakat untuk mematuhi Social Distancing. Begitu juga dengan keputusan untuk melakukan Lockdown. Pemerintah pusat dengan secara efektif memberlakukan Lockdown tanpa melalui perdebatan kewenangan pusat atau kewenangan daerah.

Di dalam negara yang tersentralisasi risiko berlangsungnya dan paska lockdown juga dapat dimitigasi sedangkan di negara demokrasi kebijakan lockdown berpotensi mengakibatkan kerusuhan apabila kapasitas negara lembah terutama dalam menjamin pasokan selama kebijakan lockdown berlangsung maupun paska lockdown

Kekhawatiran krisis demokrasi karena di trigger oleh Covid-19 sangat beralasan mengingat demokrasi mengalami krisis berkepanjangan dengan kebangkitan populisme. Selain itu penanganan yang cenderung lambat dari negara-negara demokrasi dalam menangani Covid-19 seperti Indonesia dan Italia akan membuat defisit kepercayaan publik pada sistem demokrasi terus menurun.
Covid19 juga berpotensi menjadi pemicu perubahan politik domestik karena ketidakmampuan negara dalam menghadapai Covid-19 seperti di Iran.

Selain risiko krisis demokrasi, Covid-19 juga berpotensi menjadi pemicu perubahan tatanan global dalam Hubungan Internasional. Krisis model supranasional Uni Eropa (UE) yang sebelumnya mengalami krisis paska brexit, berpotensi akan semakin menguat paska Covid-19.

Pandemi yang menyebar luas di UE tidak hanya menjadi tragedi kemanusiaan tetapi juga mengancam eksistensi UE sebagai regionalisme. Ketidakmampuan UE maupun negara-negara UE untuk membantu sesama negara UE yang sedang dilanda Covid-19 membuat krisis kepercayaan terhadap UE sebagai sebuah regionalisme.

Absennya Jerman dan Prancis dalam menanggulangi Covid-19 di Italia dan Spanyol akan membuat krisis kepercayaan terhadap UE. Selain itu datangnya China dengan bantuan ke Italia akan berpotensi untuk merubah tantanan aliansi global.

Potensi risiko Covid19 tentu akan dapat diminimalisir apabila ada kerjasama masyarakat, negara dan dunia secara solid. Apalagi untuk Indonesia, pemerintah harus mengambil langkah radikal dalam menanggulanginya, apabila dua pilihan antara lockdown atau social distancing harus dilakukan secara ketat dan tegas. Dalam situasi krisis seperti sekarang, kita tidak bisa lagi menggantungkan pada kesukarelaan individu.

Yang jelas, Covid-19 merupakan musuh bersama dan harus ditanggulangi bersama oleh dunia.  seperti roman dari filsuf Seneca “we are waves from the same sea, leaves from the same tree, flowers from the same garden”.

(Penulis adalah Tenaga Ahli di DPR RI, Pemerhati Hubungan Internasional)

Kenapa warga rohingya diusir dari negaranya

  Warga Rohingya telah mengalami pengusiran dan diskriminasi di Myanmar selama beberapa dekade. Konflik terhadap etnis Rohingya bersumber da...