Saturday, 4 April 2020
Risiko Serangan Covid-19
Oleh:Rafli Zulfikar
SETELAH melewati tantangan yang berat pada tahun 2019 seperti kohesi sosial akibat pemilihan presiden, menguatnya populisme, eskalasi geopolitik yang terus memanas baik di Timur tengah maupun disemenanjung Korea dan rentetan krisis di emerging market (Argentina, Turki dan Afrika Selatan) yang juga berpotensi menjalar ke Indonesia, hari ini kita mengawali tahun 2020 dengan suasana yang murung.
Badai teryata belum berlalu dan meminjam serial Game of Thrones “winter is coming”. Diawali dengan munculnya pagebluk global Covid-19 di Wuhan dan menyebar keseluruh dunia dalam hitungan bulan. Kita tidak pernah membayangkan Covid-19 menyebar secepat sekarang dengan tingkat kejatuhan korban yang terus bertambah.
Dunia yang tidak pernah sepi tiba-tiba terhenti, sepi dan mandek. Semua mengurung diri, kembali ke rumah. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Covid-19 yang mematikan dan menyebar luas seolah memberikan pesan bahwa kita tidak pernah belajar dari rentetan pandemi global dari black death dan spanish influenza.
Lebih dari daya rusak dengan terus meningkatnya besaran jumlah korban dan tingkat rasio kematian (mortality rate) yang tinggi, paska Covid-19 juga memiliki risiko daya rusak yang jauh lebih tinggi yaitu ekonomi, politik dan tatanan global.
Apabila setiap pandemik memiliki risiko mematikan yang berakibat pada berkurangnya populasi, Covid-19 berpotensi melebihi resiko hanya sebatas berkurangnya populasi tetapi menjadi trigger bagi kerusakan fundamental pada tatanan peradaban. Maka mitigasi perlu dipersiapkan tidak hanya sekarang tetapi juga masa depan.
Risiko Ekonomi
Daya rusak Covid-19 berpotensi menjadi pemicu pelambatan ekonomi atau bahkan krisis ekonomi global. Sebelum Covid-19 menjadi pandemik, ekonomi global mengalami pertumbuhan rendah dalam jangka waktu yang lama (secular stagnation) dan munculnya Covid-19 sebagai pandemik akan membuat harapan untuk keluar dari tekanan ekonomi jauh dari angan.
Covid-19 membuat tekanan ekonomi global semakin berat dan diprediksi hanya tumbuh di 1,6 persen (RaboBank, 2020) atau bahkan negatif. Kinerja ekonomi yang negatif karena Covid-19 menyerang major ekonomi terutama China, Asia, Uni Eropa dan Amerika Serikat yang selama ini menjadi mesin ekonomi global.
Tekanan ekonomi global semakin berat ketika kesepakatan antara OPEC dengan Rusia tidak menyepakati titik temu yang menyebabkan harga minyak turun dilevel USD 20/barel. Kompleksitas ekonomi karena Covid-19 dan rendahnya harga minyak membuat pasar modal mengalami kontraksi.
Begitu juga dengan Indonesia yang diprediksi tumbuh 1 persen (Economist Intelligence Unit). Tentu kita bisa berdebat dengan angka tapi yang jelas, Covid-19 membuat ekonomi ditahun 2020 akan sangat berat. Apalagi dengan asumsi bahwa Indonesia terus mengalami pandemi Covid-19 sampai dengan ramadhan maka tekanan akan semakin berat karena ramadhan adalah salah satu mesin ekonomi Indonesia.
Situasi domestik dan global yang berat membuat alarm kemungkinan munculnya krisis ekonomi terutama krisis ekonomi Asia. Tentu Indonesia menjadi bagian didalamnya sebagai negara yang harus waspada terhadap krisis Asia.
Asia merupakan benua yang paling banyak terkena Covid-19. Hal ini membuat negara-negara mengambil langkah mitigasi yang semuanya memiliki cost yang besar. Baik lockdown atau social distancing akan membuat ekonomi lesu.
Celakanya, di sisi yang lain Asia dalam laporan McKinsey yang berjudul Signs of stress: Is Asia heading toward a debt crisis? Disebutkan bahwa korporasi-korporasi di Asia terutama India, China, dan Indonesia memiliki beban hutang jatuh tempo yang besar untuk membayar bunga dan cicilan.
Tekanan hutang korporasi yang besar akan membuat potensi gagal bayar yang berakibat pada krisis keuangan. Dalam kondisi seperti ini pemerintah harus tepat dalam “mendayung dua karang” di satu sisi mempercepat penanganan Covid-19 agar tidak semakin meluas dan banyak jatuh korban sedangkan di sisi lain juga harus memberikan stimulus yang tepat agar ekonomi tidak mandek dan korporasi keluar dari tekanan beban hutang. Kesalahan fatal akan membuat kondisi semakin runyam, krisis datang disaat Covid19 sedang “ganas-ganasnya”.
Risiko Politik
Pandemik global Covid-19 tidak hanya berakibat pada ancaman krisis ekonomi tetapi juga pada krisis politik. Kabar kesuksesan China dan Vietnam disatu sisi menjadi kabar baik bahwa Covid19 dapat di kalahkan, tapi kabar dari China dan Vietnam juga menjadi kabar buruk bagi masa depan demokrasi.
Pilihan mitigasi yang tersedia yaitu Lockdown atau Social Distancing memerlukan negara yang kuat (strong state). Kesuksesan China, Vietnam dan Singapura karena salah satunya kecepatan dan kepatuhan sosial akibat keoersif yang memaksa masyarakat untuk patuh berjalan efektif.
Kekuasaan yang tersentralisasi berjalan sangat efektif untuk memaksa masyarakat untuk mematuhi Social Distancing. Begitu juga dengan keputusan untuk melakukan Lockdown. Pemerintah pusat dengan secara efektif memberlakukan Lockdown tanpa melalui perdebatan kewenangan pusat atau kewenangan daerah.
Di dalam negara yang tersentralisasi risiko berlangsungnya dan paska lockdown juga dapat dimitigasi sedangkan di negara demokrasi kebijakan lockdown berpotensi mengakibatkan kerusuhan apabila kapasitas negara lembah terutama dalam menjamin pasokan selama kebijakan lockdown berlangsung maupun paska lockdown
Kekhawatiran krisis demokrasi karena di trigger oleh Covid-19 sangat beralasan mengingat demokrasi mengalami krisis berkepanjangan dengan kebangkitan populisme. Selain itu penanganan yang cenderung lambat dari negara-negara demokrasi dalam menangani Covid-19 seperti Indonesia dan Italia akan membuat defisit kepercayaan publik pada sistem demokrasi terus menurun.
Covid19 juga berpotensi menjadi pemicu perubahan politik domestik karena ketidakmampuan negara dalam menghadapai Covid-19 seperti di Iran.
Selain risiko krisis demokrasi, Covid-19 juga berpotensi menjadi pemicu perubahan tatanan global dalam Hubungan Internasional. Krisis model supranasional Uni Eropa (UE) yang sebelumnya mengalami krisis paska brexit, berpotensi akan semakin menguat paska Covid-19.
Pandemi yang menyebar luas di UE tidak hanya menjadi tragedi kemanusiaan tetapi juga mengancam eksistensi UE sebagai regionalisme. Ketidakmampuan UE maupun negara-negara UE untuk membantu sesama negara UE yang sedang dilanda Covid-19 membuat krisis kepercayaan terhadap UE sebagai sebuah regionalisme.
Absennya Jerman dan Prancis dalam menanggulangi Covid-19 di Italia dan Spanyol akan membuat krisis kepercayaan terhadap UE. Selain itu datangnya China dengan bantuan ke Italia akan berpotensi untuk merubah tantanan aliansi global.
Potensi risiko Covid19 tentu akan dapat diminimalisir apabila ada kerjasama masyarakat, negara dan dunia secara solid. Apalagi untuk Indonesia, pemerintah harus mengambil langkah radikal dalam menanggulanginya, apabila dua pilihan antara lockdown atau social distancing harus dilakukan secara ketat dan tegas. Dalam situasi krisis seperti sekarang, kita tidak bisa lagi menggantungkan pada kesukarelaan individu.
Yang jelas, Covid-19 merupakan musuh bersama dan harus ditanggulangi bersama oleh dunia. seperti roman dari filsuf Seneca “we are waves from the same sea, leaves from the same tree, flowers from the same garden”.
(Penulis adalah Tenaga Ahli di DPR RI, Pemerhati Hubungan Internasional)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kenapa warga rohingya diusir dari negaranya
Warga Rohingya telah mengalami pengusiran dan diskriminasi di Myanmar selama beberapa dekade. Konflik terhadap etnis Rohingya bersumber da...
-
Lirik dan Kunci Gitar Chord Sezairi - It's You Lirik dan Kunci Gitar Chord Sezairi - It's You Intro : C Em F Fm C here we are unde...
-
Lirik dan Kunci Gitar Demi Kowe - Pendhoza Lirik dan Kunci Gitar Demi Kowe - Pendhoza Intro : Am F G C E Am F G C.. C ...
-
Pada 2018, Google memperbaharui regulasinya dengan mengikutsertakan kecepatan loading di perangkat mobile sebagai indikator SEO. Jadi kecepa...
No comments:
Post a Comment