Sunday, 11 April 2010

Bocah Kampung


Musim hujan memang membuat banyak orang jadi lebih romantis dan melankolis. Puluhan bahkan mungkin ratusan lagu kenangan tercipta bertemakan hujan dan percintaan. Sepanjang Jalan Kenangan, Hujan Turun Lagi (eh bener ya itu judulnya lagu jadul yang dinyanyikan Ratih Purwasih?), Fixin' A Broken Heart, Lady Rain, November Rain...sampai Hujan di Malam Minggu karya Jhony Iskandar. Hohoho... Dan mangsih banyak lagi, saya ya ndak ngapal, kalo ngapal nanti dianggap kurang gaweyan.

Duhai, hujan deras membasahi jemuran, menggenangi pelataran, membuat kaum serangga tanah gelisah. Halte-halte sesak menghangat. Manusia-manusia kota tergesa dalam kendaraan. Susah benar mencari makan di kota, masih harus berhujan-hujan.
Akupun regresi ke masa-masa indah di kampungku.

Kami adalah anak kampung, tiga kilometer lagi untuk bertemu jalan beraspal. Dahulu di musim hujan begini sepulang sekolah kami ke ladang (kami menyebutnya 'alas') mencari jangkrik di antara bongkahan tanah bekas cabutan singkong. Kalau beruntung kami mendapatkan jangkrik jantan yang gagah dan bagak, segera berbunyi nyaring begitu ujung bunga rumput menggelitik sungutnya. Nyaringnya suara si jantan adalah pesona bagi betina, namun kadang mendatangkan kemalangan bagi dirinya sendiri. Karena pesonanya ia diburu, dibawa ke perkampungan makhluk serba doyan bernama manusia, disimpan dalam bumbung seukuran cetakan gula Jawa, bahkan ditukar dengan duit seratus perak. Murah betul harga kebagakan seekor jangkrik jantan.

Kami anak kampung senang memelihara jangkrik. Suaranya nyaring memenuhi rumah, menggaung di liang telinga. Kaum tikus ciut nyali mendengar nyanyian mono tone si jangkrik ulung, laksana koruptor mulai sadar terendus jejak. Dipadu dengan suara hujan mengguyur atap seng, konser alam ini tiada duanya. Kami tak pernah lupa nyanyian jangkrik hingga kini, bahkan orkestra Kitaro atau Yanni belum mampu menggeser pesona racikan nada-nada alam monotonik itu.

Kami adalah anak kampung, pagi kami adalah pagi berkabut yang menggairahkan, langit kami benar-benar biru, malam-malam kami adalah malam bermain petak umpet atau menyalakan obor klaras untuk mencari sebutir sawo di pekarangan. O teman, senang bukan main ketika sebutir sawo matang yang berwarna coklat dan berbau harum kami temukan tergolek pasrah di tanah, kami memakannya sambil tertawa riang. Biji keciknya kami kumpulkan untuk bermain 'kubuk'.

Kami adalah anak kampung, bermain bola di sawah kering. Tak bersandal kami berlarian di pekarangan, sesekali menginjak beling dan kotoran. Beberapa di antara kami bahkan ke sekolah tanpa sepatu, memamerkan betis kurus nan bersisik, sebagian 'bermotif' seperti buah pace, kenang-kenangan bahwa ia pernah mengoleksi koreng.

Kami adalah anak kampung, seringsungai mandi di kali..eh seringkali mandi di sungai. Dulu, sungai kami meski tak bersih-bersih amat masih bisa untuk mandi, ibu-ibu kami mencuci di tepinya. Selesai mandi, pemberani di antara kami memanjat pohon salam, memakan buahnya yang rasanya sepet-sepet manis. Yang tidak pandai memanjat cukup memunguti buah salam yang jatuh, yang umumnya lebih matang dari pada buah yang dipanjat. Cerdik dan kuat sama dapat.

Kami punya senapan dari bambu berpeluru biji kandri. Kami berperang laksana tentara betulan. Berlari, tiarap, beringsut di balik semak. Manakala musuh sudah dekat: plop! plop! senapan kami menyalak ganas menewaskan musuh tak kenal ampun. Siapa yang tak kan mati karena senapan kami. Westerlingpun bakalan lari tercirit-mirit mendengar suara kami punya senjata.

Hohoho... indah nian masa kecil, hati kami begitu dekat dengan alam. Nafas kami bersenyawa dengan tiupan angin sepoi. Denyut jantung kami seirama denyutan semesta. Suara cempreng kami selaras embikan kambing dan acapella kodok .
Hohoho...hidup betul masa kecil kami, di tanah bekas galian yang becek kami bermain perosotan. Segenap oksigen, hidrogen, dan fosfor di tubuh kami petik dari kebun sendiri. Kuanta kami lebur dengan kuanta benda-benda di sekitar. Menyatu. Padu.

Sahabat kami di masa kecil dari golongan makhluk hidup dan benda mati, dari golongan pinter dan agak o'on adalah sahabat terbaik. Hubungan di antara hati-hati yang bersih, di antara sesorot mata yang polos, di antara sederhananya mimpi-mimpi anak kampung ini adalah persahabatan yang begitu murni.

Seperti sungai kami yang masih bersih.
Seperti suara jangkrik yang masih nyaring.

No comments:

Post a Comment

Kenapa warga rohingya diusir dari negaranya

  Warga Rohingya telah mengalami pengusiran dan diskriminasi di Myanmar selama beberapa dekade. Konflik terhadap etnis Rohingya bersumber da...