Pengisah Cinta. Pasien kedua yang saya rujuk ke RS Mina Al Wadi namanya Pak Ali (80tahun). Pasca wukuf di Arafah, selepas maghrib rombongan berangkat ke Muzdalifah untuk mabit. Di lembah Muzdalifah saya bertemu dengan istri Pak Ali yang mengatakan suaminya mengalami sakit di bagian kaki, sehingga sulit berjalan. Keluhan yang lain tidak ada. Saya meminta perawat memberi piroxicam plus antasida dengan catatan diminum setelah makan.
Sesudah itu saya tak melihatnya lagi, maklum saja di Muzdalifah ratusan ribu manusia duduk bersama dalam suasana temaram, dan tanpa batas teritori yang jelas. Sampai di Mina setelah melontar jumrah dan tahalul awal, ketika setelah maghrib saya melakukan ronde ke jamaah kloter saya, istri Pak Ali memanggil saya, "Pak Dokter, Pak Haji tidak bisa bangun. Tadi siang katanya perutnya sakit sekali..". Pak Ali berangkat haji untuk ketiga kalinya, sehingga istri mudanya ini sudah biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Haji.
Ya Allah, saat saya lihat senja itu ternyata Pak Ali sudah sangat pucat. Tangan dan kakinya dingin. Nadinya kecil dan perutnya sangat tegang. Tidak ada BAB mencret atau berdarah kehitaman. Riwayat status jantung paru tidak banyak yang macam-macam.Tapi segera saja saya menduga telah terjadi perdarahan: Perforasi saluran cernakah?
Piroxicam itu!"Obat tadi malam diminum, Bu?"
"Pak Haji minum obat rematiknya."
"Tapi makan nasi, nggak?"
"Itulah, dia nggak mau makan nasi, Pak Dokter. Tapi karena sakit kakinya nggak ketulungan obatnya diminum."
MaasyaaAllah, kenapa jadi begini. Lambung Pak Ali yang sudah rapuh termakan umur pastilah lumat digerus AINS seperti piroxicam. Ditambah stres perjalanan yang melelahkan plus lambung yang selalu kosong... Segera Bu Betty perawat kami memasang infus RL dan saya minta ketua kloter menghubungi maktab untuk meminta ambulance. Pasien ini harus segera diselamatkan.
Sesampai di RS Mina al Wadi saya hanya bisa sampai UGD, selanjutnya diambil alih penuh oleh pihak RS. Memang di sana begitu, bahkan keluarga tidak diperkenankan menunggu walaupun Pak Rauf sebagai ketua rombongan sudah melobi RS agar istrinya bisa menunggui Pak Ali. Ya sudah, yang penting data sudah lengkap didaftarkan, gelang perak identitas haji juga terpasang di tangan.
Hari terakhir di Mina, setelah tahalul akhir sebelum kembali ke Makkah saya dan Pak rauf mengecek keadaan Pak Ali di RS Mina. Ternyata Pak Ali dipindahkan ke RS An Nur, sebuah RS terbaik di Makkah. Maka setelah di Makkah, kamipun membezoeknya ke RS An Nur tersebut. Tetapi, disinilah mulainya, kata pihak admission RS An Nur, Pak Ali dikirim ke RS di Jeddah karena semua RS di Makkah tak mampu lagi menampung pasien pasca episode Arafah-Mina. Memang dari rangkaian ibadah haji, inilah yang dirasa terberat bagi fisik, tak heran korban sakit dan meninggal kebanyakan waktu-waktu inilah. Ia menyodorkan alamat RS tempat Pak Ali dirujuk: Al Athba' al Muttahiddun, beserta nomor telepon.
Tiga hari sudah Pak Ali tidak tentu keberadaannyakarena ternyata nomer telepon yang diberikan RS tidak bisa dihubungi. Kamipun meminta Tim Surveillans daker Jeddah untuk melacak Pak Ali dan RS Athba' al Muttahidun. Kamipun rajin menanyakan ke BPHI dan sub BPHI untuk mengetahui apakah ada kabar tentangnya. Saya sangat resah karena ada satu jamaah yang hilang. Istri pak Ali setiap hari menangis, wajahnya selalu sedih. Anak-anak dari istri tua Pak Ali di Jakarta menyalahkan si ibu ini. Persoalan keluarga menjadi semakin runyam.
Genap 5 hari setelah Pak Ali hilang belum juga ada kabar dari tim surveilans yang mengaku sudah menyisir seluruh RS di Jeddah: nama RS Athba' al Muttahidun tidak ada di kota Jeddah. Duh, apa pula ini? Salah sebutkah? Tapi tulisan itu begitu jelas, tidak mungkin ngarang. Apakah pak Ali di kota lain? Madinah? Riyadh? Pikiran kami semakin tak tentu.
Salah OrangSecara rutin kami tim pendamping kloter melapor dan berkoordinasi ke Wisma Haji, semacam markas besar haji Indonesia di Aziziyah, Makkah. Di sanalah terdapat Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) sebagai sarana kesehatan pusat haji Indonesia yang ada di Makkah. Di sana pula pula tim surveilans bermarkas. Di sana pula segala masalah, termasuk jenazah haji tak bertuan asal Indonesia coba diakomodir. Suatu siang saya melihat poster:
Keluarga siapakah ini? dan dibawahnya tertera wajah yang menurut saya sangat mirip wajah pak Ali.
Saya yang pikirannya sudah sangat ingin masalah ini jelas segera mengambil kesimpulan: Pak Ali telah ditemukan di BPHI! saya segera menghubungi keluarga Pak Ali dan kepala rombongannya. Istri Pak Ali dan anaknya Riki serta Pak Rauf datang 1 jam kemudian. Begitu melihat poster yang dipampang di papan pengumuman tersebut, serentak ibu dan anak tersebut menangis berpelukan. Sedih sekali tentunya, padahal mereka belum melihat langsung jenazah Pak Ali.
Harapan Baru,Kebingungan BaruSesuatu terjadi manakala kami bersama menlihat ke dalam kamar jenazah. Setelah diseksamai ternyata dia bukan Pak Ali. Istrinya memastikan itu. Pak Ali lebih tua dan lebih sedikit lebih tinggi. Astaghfirullah, salahku... Jadi di mana pak Ali? Masih hidupkah?
Kegalauan belum beranjak dari benak kami...
Tepat hari ketujuh, rombongan KBIH pimpinan Pak Rauf sesuai rencana akan tour ke Jeddah. Tidak lupa Pak Rauf mengajak saya, Pak Hasan dan Pak Uung serta dalam rombongan sekalian kalau sempat mencari Pak Ali.
Begitulah, setelah 2 jam perjalanan kami memasuki kota Jeddah. Dan di tepi jalan yang kami lalui tak jauh dari Taman Raja berdiri sebuah rumah sakit megah bertajuk UNITED DOCTORS, sebuah rumah sakit swasta kelas internasional. Iseng-iseng ada seorang jamaah berujar ,"Jangan-jangan ini, United Doctors kan bahasa Arabnya mungkin Athba al Muttahidun..."
Jreengg...benar sekali! United Doctors...Al Athba' al Muttahidun! Subhannallah... setelah dilihat dengan jeli di bawah tulisan United Doctors tertulis dengan aksara Arab kecil: al athba' al muttahidun!
Segera bus kami parkir. Kami segera mendatangi bagian informasi dan.. benar saja. pak Ali ada di sana. sayang, seperti yang saya duga, ia sudah tiada. Pada jasadnya terdapat bekas sodetan lebat di perut: jejak laparotomi. Barangkali benar, seperti perkiraan saya juga para dokter disini menemukan adanya perdarahan internal yang harus diselesaikan dengan operasi. barangkali memang keadaan pak Ali sudah kasip, dan usianya tidak menopang untuk keadaan seperti ini...
PenutupSeorang ibu, anggota rombongan itu bertanya, "Bagaimana Dok, pak Ali masih sakit?"
Saya hanya diam. saya biarkan pemandu tour kami, seorang mukimin asal Madura menjawab, "Tidak Bu. pak Ali tidak sakit lagi."
"Sudah bisa ngomong?"
"Ndak bisa ngomong, Bu..."
"Apa dia bisa pulang bersama kita?.."
"Kita semua pulang Bu. Tapi Pak Ali duluan..."
Jawaban sang pemandu ini benar, tidak membohongi. Saya masih ingat sampai sekarang.
Mata saya menerawang di langit malam kota Jeddah.
Rabbana..., kepadaMu kami semua kan pulang...